Tuesday, August 18, 2009

Negeri di sebelah Negeri Van Oranje

Saya sempat membicarakan novel ini dengan seorang teman via ceting dan secara kebetulan, enggak lama kemudian tahu dari teman saya yang lain bahwa ada teman satu SMU yang ikutan kontribusi nulis di buku ini. Judul bukunya "Negeri van Oranje", tentang kehidupan pelajar Indo yang mengemban 'tugas' S2 di Negara Kincir Angin. Saya sendiri sih, belum baca novelnya, tapi saya yakin, buku apapun yang membahas mengenai kisah pelajar separo 'ngere' di negeri orang dan membahas luar negeri dari sisi yang berbeda pasti enak dibaca.

Saya jadi tergelitik untuk nostalgia dan nginget kembali masa-masa kuliah saya di Eropa dulu. Dulu kala (deu, kesannya dah lama banget, padahal cuman 7 taun lampau), saya dan teman-teman pernah ngobrolin bahwa:

"Anak Indo yang anak orang kaya dan manja bakal sekolah S2 ke Australi. Yang kaya, tapi sedikit lebih berani pergi S2 ke Amerika. Dan yang nekat, pemberani tapi ngere pasti pergi S2 ke Eropa Barat." He he.

Falsafah tadi sih sama sekali jauh dari benar, itu cuman akal-akal kita-kita aja untuk membesarkan hati sendiri bahwa orang-orang yang pergi S2 dengan keinginan sendiri ke Negara Eropa non Inggris adalah (calon) pelajar-pelajar yang pemberani.

Selain masalah bahasa, masalah budaya, masalah ekonomi juga enggak nanggung-nanggung suka bikin pelajar Indo di Eropa Barat meringis. Enggak ketinggalan pelajar Indo di Belgi, termasuk saya. Di Leuven, kota kecil bin imut-imut tempat saya tinggal selama satu taunan, cuman ada sekitar 20 sampe 30an pelajar dan ada sekitar 20an lagi masyarakat Indo non pelajar. Leuven ini identik dengan Bandung dan Jogja alias kota pelajar, so kota ini penuh dengan pelajar dari seantero Eropa dan Asia termasuk dari Belgia sendiri. Bahasa di Belgia ada tiga, Belanda, Perancis atau Jerman, tergantung lokasi kotanya dan Leuven termasuk kota yang boso Blandanya lebih kenceng. Walau begitu English is widely spoken. Tapi tetep aja kita bingung kalo kudu tanya-tanya ini itu, atau cari bahan masakan ala indo. Orang di Leuven, namanya kota kecil, beda banget sama orang di Jakarta. Disini orang lokal terbiasa liat stranger saking banyaknya pelajar asing, walau tetep aja Ndeso. Mereka terperangah waktu liah henpon sejuta umat saya (nokia 5110?) karena enggak semua teman saya berhenpon, ngapain, wong kotanya kecil kok, dan internet broadband murah banget. Disini enggak ada macet karena kotanya beneran selebar daun kelor doang, jalan kaki keliling kotanya mungkin cuman makan waktu 45 menit kali! Cuman, sama seperti kota di Eropa, apa-apa disini mahal, terutama kalau kita kurs-kan. Satu botol aqua (enggak ada aqua gelas) harganya sekitar 10 ribu (kurs jaman dulu) atau 20 ribu (kurs jaman sekarang). Udah gitu, walau Belanda dan Belgia cuman beda dikit dari sisi lokasi di peta, tapi dari sisi topografi beda banget. Sepedaan di Leuven pernah bikin sepupu saya yang pelajar di Delft sempoyongan waktu genjot sepeda, karena jalanannya mengikuti topografi kota naik dan turun seenak jidat, entah jidat siapa.

Walaupun begitu sih, saya enggak tutup kuping dengan selentingan yang bisik-bisik bahwa hidup saya tergolong 'mewah' buat ukuran pelajar Indo di kota saya tinggal. Saya naik sepeda ke kampus, tapi walau sepedaan saya sama-sama seken, sepeda saya merk Batavus. Studio saya cukup bersih dengan kamar mandi pribadi karena milik sebuah keluarga kaya di kota sebelah dan bukan kamar tanpa kamar mandi pribadi seperti milik beberapa teman saya. Beberapa teman saya menambah uang saku dengan kerja part time (yang sebetulnya ndak boleh kecuali dibawah sekian jam per minggu) mulai dari pencuci piring, penjual es krim sampai pengangkut container di gudang freight forwarding, sedang pekerjaan penambah uang saku saya adalah...... menjadi Penari Tradisional di KBRI. Teman yang lain menghabiskan waktu luangnya dengan nonton film download-an dari Kazaa (apa kabar tuh ya Kazaa skrg?), sedangkan saya masih bisa dugem walau cuman modal dengkul, karena kudu tahan berdiri lama alias enggak dapet duduk karena enggak beli minuman di kafe tempat dugem. Walau konotasi dugem disini adalah kafe yang muterin lagu-lagu top forty dari radio dan DJ semi professional, so jangan bayangin tempat macam Embassy yang penuh dengan pedandan, karena yang dateng pun cuman pake sepatu but atau kets dan bukan hak tinggi.

Walau banyak tersyok-syok dengan keadaan di sono, saya tetap enggak mau larut dalem stress. Kalo kata pepatah Cina, "kalo ketemu musuh bebuyutan, adopt his strategy." So, biar saya survive, saya pun mencoba bergaul dengan penduduk asli dan sesama pendatang, sekalian cari geberatan kalo perlu. Saya jadi banyak pengalaman dengan bergaul sama mereka. Bisa bikin satu blog post, kalo perlu satu buku dalam menulis cerita tentang hal ini. Saya pikir-pikir juga, kalau saya mau sekolah di luar negeri tapi hanya sekedar sekolah tanpa 'menikmati' perbedaan budayanya, kayanya kok rugi. Kalo hanya sekedar menghabiskan detik-detik bebas tugas -yang berharga banget- dengan main bersama teman satu bahasa doang, kayanya sih, sekalian aja kuliah di Indo. Lebih murah (mungkin) dan mungkin dengan kualitas lebih bagus(?). Daripada jauh-jauh naik pesawat 12 jam ke Eropa, tapi ending-endingnya jagongannya sama orang Indo juga.

Jadi yah, begitulah.... sepulang dari Eropa sono selain bawa cerita ajaib mengenai negara-negara di sana, saya juga membawa cerita unik mengenai orang-orangnya : sahabat-sahabat saya, teman-teman saya se-genk yang berbagai bangsa, sampai cerita mengenai keterkejutan mereka dengan budaya Indo yang ternyata begitu kaya.

Tentang falsafah bahwa "Anak Indo yang anak orang kaya dan manja bakal sekolah S2 ke Australi?" Enggak tau deh kebenarannya, yang jelas saya kualat karena sekarang saya nikah dengan lulusan S2 Sydney Uni, With Honours lagi! He, he, he.

Saturday, April 18, 2009

Cerita capung yang kehilangan kunang-kunang-keping hati… (old post)

Cerita capung yang kehilangan kunang-kunang-keping hati…
From DIVA, August 25 2006.


Hey kamu,
iya kamu…
Capung yang lagi duduk termangu di pojok sana,
Ayo sini, kemari…
Duduk di sampingku.. ceritakan padaku apa yang terjadi…
Sudah, jangan pikirkan kunang-kunangmu yang hilang, atau cawan hatimu yang retak…
Lebih baik duduk disini dan mencari jendela atau pintu yang terbuka…
Atau temani aku, mencari puzzle – kepingan hati…
Katanya, hidup itu baru bermakna, kalau kepingan hati kita sudah penuh,… padahal setiap manusia pasti punya lubang di hatinya, yang perlu diisi agar makin penuh, makin hidup….
Dan hati, tidak pernah penuh, selalu ada lubangnya, dan saat ini aku masih mencari sebentuk kepingan hati.
Iya, tepat, katanya bentuknya seperti kunang-kunang, mirip seperti punyamu yang hilang…
Mari, duduk disini, kita nikmati hidup sambil mencari kepingan hati…Beritahu aku bentuk kepingmu yang hilang, mungkin aku bisa tahu dimana mencarinya.. Nanti aku beritahu juga milikku… siapa tahu kamu juga tahu… atau jangan-jangan kamu memegang keping hatiku? Ah… kita tidak akan pernah tahu…sampai saatnya
Jangan biarkan gelisah dan resah meracau hari-harimu… ingat, jika ada pintu terbuka, masuklah, jangan kau intip jendela, atau kaupaksa membuka pintu yang lain.
Karena membuka pintu perlu kunci, dan terkadang ”sahabat" kita di atas tidak mau memberikan kuncinya, dan kamu akan diberi kunci dari jendela atau pintu yang lain..
Iya , iya,
Aku tahu, kau sudah bosan,
menunggu, mencari makna, membaca bentuk awan di langit, mencari arti tentang kunang-kunangmu yang hilang, ditepih tangan indukmu… Perlahan, jejakkan jiwa, tidak hanya tubuhmu, dengarkan alam berbicara, siapa tahu keping hatimu tidak jauh berada…
Hey kamu,
iya kamu…
Capung yang lagi duduk termangu di pojok sana,
Ayo sini, kemari… aku ada disini untukmu
Duduklah di sampingku teman…. bersama kita cari jendela dan pintu yang terbuka buat kita…

Tuesday, March 3, 2009

Indonesia / jakarta : lebih barat dari barat...

Sebulan di Jakarta selama masa 'liburan' saya dari kehidupan singapore membuat saya jadi lebih peka terhadap keadaan Indonesia saat ini.
Pertama-tama, di awal awal kedatangan saya, saya sempat syok bin bingung melihat sebuah mall di kawasan Bunderan HI. Mall tersebut luar biasa besarnya, berisikan toko toko ekslusif barang branded, bahkan ada satu toko yang ekslusif banget, yang sorry nih, di Singapura aja belom buka. Yang bikin saya miris, ialah mall tersebut dibuka di masa krismon gini, dan penuh lagi! Seumur-umur, dari semua mall di dunia yang saya kunjungin, kok kayanya ini yang paling ekslusif, megah dan ajaib ajah! Denger-denger, ada mall lain yang lebih canggih lagi di daerah kelapa gading. Perasaan orang indonesia yang kaya gag banyak banyak amat deh... terus yang gag punya mau kemana?? Pasar? Taman monas yang udah ditutup???
Terus, yang saya juga amati ialah sikap orang indonesia yang suka anti barat, padahal... orang indonesia tuh barat banget. Indonesia tuh lebih barat dari barat!
Liat deh, disini orang kita dengan mudahnya beli majalah-majalah yang di luar negeri dibredel, dilarang sirkulasinya, atau dibatasi pembeliannya, misalnya majalah cosmo (setaun di singapore saya gag berhasil nemuin tuh majalah!) atau playboy (ini lagi...). Dengan gampangnya aja orang kita beli tuh majalah semi x di lapak lapak kaki lima, dijual di sebelah komik Conan (bikinan jepang), atau Majalah Bobo. Miris, miris.
Sewaktu jalan-jalan ke Eropa dan amrik, setiap mau masuk ke tempat yang berbau judi (kasino) atau jual alkohol (diskotek, bar), saya pasti harus mengeluarkan ID (maklum, kita org Indo awet muda bukan?) . Bahkan setelah udah ngelahirin anak 1, di sing kemarin ID saya masih diperiksa.Di eropa walau alkohol dijual bebas, tapi untuk beli alkohol, rokok, dll kita harus nunjukin ID.
Nah... di Jakarta? Halah.... saya bisa ke disko dari umur saya 18 taun, (untungnya saya bokek jadi gag pernah bisa beli alkohol), dan bisa lihat anak-anak muda underage nge-boat dan minum di rave party ancol, atau beli bir bintang di Circle K dan minum-minum di pinggir pantai Kuta. Mantap....
Soal hape dan alat komunikasi, lain lagi... Nyaris tiap hari di FB saya ada update status " friend XXX has download FB application for blackberry." Saya sih nothing against blackberry, apalagi BB lebih murah baik alat dan langganannya di Indo drpd di negara lain. Cuma itu sesuatu yang lucu. Bayangkan, negara dunia ketiga, 20 persen penduduknya DIBAWAH garis kemiskinan, tetapi nyaris satu jakarta, or at least most people I know sekarang pakai Blackberry yang harganya jutaan perak. Some of them dapet gratis, some of them mengkhususkan untuk beli. Saya sama sekali gag masalahin. Yang saya sedihkan adalah pola pikir orang2 berpendidikan yang saya tahu/kenal, yang ngaku ke saya bahwa mereka harus ganti hape tercanggih tiap tahun karena malu sama teman-teman/arisannya, padahal kerja mereka tidak mewajibkan mereka untuk pakai alat komunikasi tercanggih, misalnya, ibu rumah tangga. Terpikir gag sih? bahwa penghasilan mereka, yang sebetulnya bisa dibelanjakan buat pasar dalam negeri dihabiskan cuman buat memompa devisa keluar dari negara kita tiap tahun, cuman buat beli hape doang asal Finlandia! Pinter pinter....

Soal baju??? Nah, lebih banyak gerai Mango dan Zara di tiap pojok mall, daripada gerai toko batik Allure, atau danar hadi, yang selain mahal, norak pula modelnya, kecil banget ukurannya. Paling pol pakai pakain batik kalo jadi pegawai negeri.

Belanja di tukang sayur, atau ke pasar, well, pastinya suruh si Mbak dong (udah bau, banyak copet pula), di sana cukup beli sayur ama bumbu dapur. Daging, Ikan, buah?? Beli di Karfur dong... murah dan segar! Ini hal yang ironis banget sebetulnya, karena dengan adanya hyper market seperti ini, pasar tradisional jadi mati. Apa pemerintah tidak membuat peraturan supaya toko modern dilarang buka berjarak misalnya 5 kilo dari pasar tradisional? Dan kalaupun peraturannya ada, mbok dijalanin gitu....

Aksi pornografi??? Yah, ini lagi... pake ada peraturan, tapi jauuuuuuh dari maksudnya... Ngomong2 apa ya maksudnya?? Soalnya saya bilang isi infotainment yang tentang kawin cerai, sinetron yang menjual mimpi, reality show seperti termehek-mehek, dan seratus macam show jiplakan lainnya (mulai dari acara komedi peniru Saturday Nite Live sampai Total Request Live) lebih parah dan merusak moral dari isi UU APP yang ribut soal jaipongan dan tari Bali... Daripada ngomongin porno2an yang kurang jelas batasnya, mbok ya bikin aturan yang jelas dan saklek, misalnya soal KORUPSI, soal LINGKUNGAN dan HUTAN LINDUNG, soal kebijakan ENERGI DALAM NEGERI.
Yes, di amerika dan eropa semua bebas! Tidak ada peraturan mengikat, mau samen leven, mau perawan ataupun enggak, mau bikin red llight distric. Tapi..... Disana yang namanya peraturan KDRT jelas, pemerkosa bisa dihukum mati, pelecehan seksual?? jangan coba-coba... ITU yang mestinya diatur... Melakukan hubungan seks dengan anak dibawah umur bisa dihukum, bukannya jadi selebritis seperti Syekh yang sakit jiwa dan punya istri umur 14....

Liat isi sinetron dan film-film remaja... semua remaja bisa bawa mobil pribadi ke sekolah, kampus, ke mall. Di amrik? di singapore? Di eropa? rata-2 berkendaraan umum, mobil cuman segelintir aja man! Disini? gaji baru 5 juta, sudah kredit mobil, atau minimal, mo-cin deh...Kredit rumah nanti nanti dulu...

Semua orang pakai Ipod di jakarta...padahal tahu kenapa Ipod diciptakan? Karena di barat semua orang naik kendaraan umum sendirian, dan butuh teman pendamping. Bukannya sekedar jalan di mall atau naik mobil terus pasang ipod di kuping, atau pakai ipod buat simpen data skripsi... emangnya gag ada USB external ya?

Kita ngaku benci barat, benci barat, benci amerika, tapi acara favoritnya plagiatnya SNL, minum kopi starbucks daripada kapal api....
Saya termasuk bersalah, saya ngaku. Saya lebih bangga diakui lulusan Eropa dibanding memberitahukan gelar S1 dalam negeri saya. Saya lebih bisa bahasa belanda dan inggris dibanding bahasa jawa. Saya lebih suka ke karfur dibanding ke Pasar tanah abang. Saya pakai clarins dan bukan citra.
Saya bersalah, dan saya yakin kamu juga.
(udah ah cape mengkritik indonesia :p, besok saya bikin tulisan yang memuji orang2 indo luar biasa yang saya kenal).

Tuesday, February 24, 2009

Pesta lima taunan

PEMILU datang lagi, hore.....
Ngeliat situasi PEMILU jaman sekarang memang beda dengan PEMILU jaman dulu. Dulu pemilu mah damai dan seru, lha gimana gag seru partai hanya tiga. 
Nah sekarang? Apalagi ditambah dengan sistim pemilu yang, yah... cukup bikin saya pusing. Bayangin kita harus milih caleg dan bukan hanya partai saja. Itu berarti kita harus melototin foto atau nama caleg yang ratusan atau mungkin ribuan dalam surat suara... kebayang deh tuh surat suara segeda apa. Udah gitu sekarang surat suara itu harus dicentang dan bukan di coblos. Bukannya gag efektif ya karena berarti panitia pemilu harus nyiapin banyak pulpen atau pensil. Padahal kalau pakai metode lama alias dicoblos kan di tiap bilik hanya nyiapin paku aja ya?
Terus, belum apa apa, sudah banyak banget deh berita berita yang lebih banyak enggak sedapnya. Misalnya nih, soal caleg yang enggak kompeten lah, kampanye terselubung lah sampai peralatan pemilu yang sampai sekarang masih belum selesai padahal pemilu tinggal 40 harian lagi. 
Kadang-kadang gue sedih, Kita kan sudah 10 tahun lebih reformasi, tapi kenapa keadaan secara politis masih belom berubah ke arah yang lebih baik? Well, ada hal-hal yang membaik, misalnya nih, caleg sekarang berasal dari berbagai lapisan masyrakat, bahakan kamu marginal. Ada loper koran bahkan tukang becak yang jadi caleg. Itu artinya demokrasi di negara kita sudah semakin membaik, dalam artian kesempatan untuk menjadi wakil rakyat tidak melulu didominasi oleh segelintir elit saja, seperti di jaman dulu.
Tapi di sisi lain, kok kayanya keadaan politik kita tuh panassss terus. Semua kebelet pingin jadi orang penting. Tokoh-tokoh lama yang sudah naik gunung, eh, deket-deket pemilu turun gung lagi. Artis ramai ramai jadi tokoh politik. Tokoh politik jadi ...makin berpolitik lagi. Semua pingin jadi pres, pres, pres,yang sayangnya bukan bandeng presto. Kayanya saat ini posisi seseorang selalu merupakan kursi panas. Gag tahan lama, soalnya dikit-dikit di demo. Yang memang beneran mesti di demo, malah gag di demo. Liat aja yang punya lapindo, siapa yang demo? Tapi ketua dewan perwakilan, yang mau nanggapin aksi anarkis malah di demo, ampe mati pula!

Kayanya, dari semua orang yang saya tanyain tentang pemilu ini, jarang banget yang memberikan jawaban positif. Semua lebih pada ... pasrah. Padahal kan pasrah belum tentu memberikan kita pemimpin yang terbaik. 
Ditambah lagi kemarin ada, apa tuh, semacam 'permintaan' dari MUI agar tidak golput. Halah. Pilihan orang kok ya diurusin. Pilihan dalam pemilu itu kan asasnya LUBER. BER = bebas dan rahasia... Sama seperti memilih istri atau suami, atau pacar. Siapa yang bisa maksa? Lah, yang kaya gini kok diatur, mending yang ngatur undang-undang, ini yang ngatur sekelompok majelis yang mengatasnamakan suatu agama, yang notabene mestinya ngatur urusan agama dan ketuhanan. 
Jadi, gimana dong... mau ikut pemilu, bingung mau pilih yang mana, gag milih pemilu, dosa.. (katanya).
Jadi, gimana dong? Mending kita bikin tebak-tebakan aja deh, siapa calon pres-wapres yang maju ke babak putaran pemilihan presiden mendatang. Kayanya itu lebih menarik daripada pusing soal pemilu .